sal
4 min readMay 15, 2022

--

kalau saja dia bisa meramal kemana jalan setapak ini akan berakhir.

Punya kepala kecil namun otak yang besar itu tidak mudah.

Bisa saja ikan-ikan akan berenang seenaknya disana, berputar lalu melompat dan terus mengepakkan siripnya seolah-olah ia berada di samudra paling luas di dunia.

Senayan dan kepala kecilnya yang bulat itu rasanya seperti seorang musuh yang saling bergantung satu sama lain. Saling menghardik namun merindu di kala sepi. Tetapi Senayan menganggap, sahabat tulus yang hanya ia punya adalah sebuah gitar usang nan jadul peninggalan sang Ayah.

Kawan lama yang masih setia mengiringi setiap derap langkah yang ia tempuh. Sahabat karib yang tak akan mencaci ketika ia berusaha menembus lautan lumpur yang pekat.

“Tampil di tempat biasa. Malam ini. Bisa ‘kan?”

Namun pada suatu titik kecil yang berjejak, ia mulai meragukan sahabat karibnya kini yang terus bersabar menemaninya ke tempat yang sama berulang-ulang bak diorama klasik yang menunggu titik akhir.

Pikirannya semakin tidak karuan, ikan-ikan itu masih terus berenang tak ada henti pun jeda dalam otaknya. Kenapa rasanya masih sama saja?

“Senayan! Halo? Bisa ‘kan?” Kedua bola matanya mengerjap beberapa kali. Bingung harus menanggapi apa, ia hanya bisa menampilkan garis lengkung bodoh andalannya itu.

“Bisa.”

Entah sudah berapa ribu kata “Bisa” yang harus ia lontarkan lagi kedepannya. Karena pada akhirnya, kata itu tidak menghantarkan apa-apa padanya. Hanya sebuah siklus membosankan setiap hari yang mesti ia tempuh agar hidup.

Senayan rasanya sudah tidak muda lagi tua. Tidak beranjak pun tidak diam. Ia terjebak dalam waktu.

Pada malam itu ia menyanyikan lagu Green, Green Rocky Road karya Dave Van Ronk bersama gitarnya di panggung yang sama dan penonton yang masih sama seperti kemarin.

“See that crow up in the sky? He don’t crow nor can he fly. He can’t walk nor can he run. He’s black paint slattered on the sun. Green, green rocky road. Promenade in green. Tell me who do you love? Tell me who do you love?”

Riuh tepuk tangan yang masih sama menyambut meriah dirinya ketika ia berhasil menyelesaikan petikan gitar terakhir dengan baik, namun, kenapa rasanya masih sama saja?

“Penampilanmu lumayan tadi. Oh iya, ada yang ingin bertemu,” ujar Mija dengan kedua tangannya yang tidak bisa diam mencampurkan cairan warna-warni di depannya itu.

“Siapa?”

“Seseorang dari label musik.”

Senayan tertegun sejenak. Apakah ini mungkin saatnya ia berhasil meloloskan diri dari perangkap sang waktu?

Tanpa pikir panjang ia menemui seseorang yang Mija sebutkan. Namanya adalah Frans dan beliau adalah utusan dari label musik bernama “X” yang menaungi penyanyi-penyanyi papan atas.

“Senayan?” Senayan mengangguk pelan seraya memproses apa yang terjadi di depannya. “Silakan duduk.”

Frans adalah pria paruh baya dengan penampilan membosankan seperti perekrut agensi pada umumnya. Mengenakan setelan formal dan tidak memiliki sehelai rambut di kepalanya itu.

“Vienna’s Pub. Saya sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini, tetapi entah mengapa rasanya susah untuk menemukan orang yang tepat.” Frans menelisik setiap inci plafon tempat hiburan yang memiliki gaya rustic di setiap sudutnya ini. Kemudian tatapannya beralih kepada Senayan dengan senyum penuh kemenangan layaknya baru saja menemukan harta karun Fir’aun di Piramida Mesir.

“Akhirnya saya menemukannya.”

“Kamu punya suara khas yang sangat menjual. Setiap bait kata yang kamu sampaikan rasanya bukan seperti bernyanyi, tetapi bercerita.”

“Jika kamu mau, saya bisa tawarkan posisi solois di label kami. Tentu saja setiap perjanjian kontrak akan kami sesuaikan dengan pihak kamu. Saya janji akan membuat kamu bersinar.”

Tawaran demi tawaran menggiurkan Frans lontarkan sepanjang obrolan. Ikan-ikan di kepala Senayan kini seperti terbang jika dibandingkan dengan berenang. Kesempatan emas untuk keluar dari lingkaran membosankan yang menghantui hidupnya sudah terpampang gemerlap di hadapannya.

“Bagaimana? Kamu setuju?” Senayan hampir mengangguk sebelum sebuah pertanyaan besar muncul dalam benaknya. Pertanyaan yang hadir dari lubuk hatinya.

“Pernyataan-pernyataan tadi hanya menggambarkan saya sebagai seorang solois, namun, jika saya boleh memastikan, apakah sebagai solois folk?”

Senyuman Frans perlahan memudar dengan bersamaannya sinar dalam kedua bola mata Senayan.

“Begini, kami mengetahui potensi-potensi yang seseorang miliki dalam bidang bermusik. Kami juga tahu mana aspek-aspek yang mampu menjual bagi khalayak ramai..” Frans memberi jeda beberapa detik di akhir kalimatnya, seakan-akan keyakinannya yang sudah bulat itu runtuh sedikit demi sedikit.

“Untuk kamu, Senayan, mengenai genre folk yang kini sudah mulai meredup. Kami memutuskan untuk memasukkan kamu dalam genre Electronical Pop. Saya percaya jika kamu memutuskan untuk menjadi solois di genre tersebut, aura bintang kamu akan semakin kuat. Lagi pula, genre Electronical Pop ‘kan memang sedang digandrungi akhir-akhir ini. Jadi anggap saja ini sebagai win-win solution, bagaimana?”

Senayan, dalam dua-puluh tujuh tahun hidupnya, selalu merasa bahwa ia terlahir untuk menjadi musisi folk. Kecintaanya terhadap genre musik tersebut lahir dari kasih sayang seorang Ayah terhadap anak dalam dirinya. Lagu-lagu folk juga ia anggap sebagai perantara komunikasi dengan sang Ayah yang jauh di atas langit sana. Karena hal itu juga yang berhasil membuatnya bertahan hidup dari hasil bernyanyi setiap minggu di tempat yang sama. Walau penghasilannya tidak menutup seratus persen biaya hidupnya, apakah itu pantas menjadi pertanda bahwa ia harus meninggalkan hal yang sudah lama ia kenal itu?

Apakah sebanding dengan semua ini?

“Maaf, tetapi saya menolak tawarannya. Sekali lagi terima kasih, saya harap anda bisa menemukan orang lain yang lebih tepat dari saya. Selamat tinggal.”

Kali ini musuh setianya harus menerima kekalahan telak dari sesuatu yang telah menjalar lama dalam dirinya.

Perasaan.

Dengan begitu, ia kembali berdiri di panggung sederhana itu, dengan gitar di pangkuannya, lampu terang yang menyoroti dirinya dan tatapan penonton-penonton setia yang hampir separuhnya ia kenal.

Ia memilih untuk terjebak dalam waktu.

Sepercik dalam dirinya kini mengharapkan kalau ia adalah seorang cenayang,

kalau saja dia bisa meramal kemana jalan setapak ini akan berakhir.

Akankah berakhir bahagia atau melainkan nestapa?

Apakah ini memang sudah takdirnya atau ia hanya seseorang yang bodoh karena hanya bisa mahir dalam hal ini?

“Senayan, nanti malam kamu bisa tampil lagi ‘kan?”

“Bisa.”

Atau mungkin, jalan setapak itu tidak akan pernah berakhir?

--

--