jalanan yang basah, rumput dan sekelompok orang.

sal
2 min readOct 21, 2022

Senayan tidak pernah menangis.

Kendati demikian, hatinya selalu meringis.

Awan abu-abu itu saja rasanya tidak cukup menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. Semuanya sudah tak seperti dahulu lagi.

Payung hijau, Serambi rumah, bahkan buku-buku yang sudah menguning itu.

Hancur sudah, semuanya.

Bersamaan dengan lunturnya diri seorang Senayan yang tengah berlutut seraya mengenggam sekuntum batang berduri yang memiliki kelopak merah nan indah itu.

Pulang ke rumah, seharusnya menjadi hal yang indah bagi setiap orang. Sebab setelah berkelana tanpa alas akhirnya menemukan tempat untuk berteduh.

Namun bagi Senayan, pulang ke rumah sama saja seperti mencambuk diri sendiri hingga sekarat.

Setiap ubin-ubin serta sudut ruangan yang sudah berdebu itu tidak pernah berubah, dan itu menyakitkan.

Tepat satu dekade yang lalu, eksistensi sang mentari meredup.

Hingga akhirnya padam.

Jalanan yang basah, rumput, dan sekelompok orang.

Pagi itu di rumah, Senayan kehilangan jantungnya.

Tetapi anehnya ia masih hidup.

Ia masih bernafas.

“Sepuluh tahun berjalan, kenapa rasanya saya sukar untuk mengingat wanginya saat dahulu? Kenapa rasanya saya sukar untuk mengingat bagaimana suaranya? Bagaimana ia tertawa dan berbicara? Kenapa?”

Pertanyaan itu terus menghinggap di benaknya. Mencari tahu, mencoba mengingat namun hasilnya nihil.

Lalu Senayan harus apa untuk kembali mengingat itu semua?

Ia memohon, memohon dan terus memohon.

Bahkan ketika suaranya tak lagi terdengar dan netranya menjadi buram.

Ia masih memohon agar ia kembali mengingat itu semua.

Duduk di tepian timbunan tanah yang sudah tumbuh rumput mungil seraya memeluk epitaf yang tergores cantik, Senayan mencoba untuk mengingat.

Walau rasanya sudah mustahil.

Walau rasanya pedih

Ia tetap mencoba sembari menunggu di depan pintu

Hingga saatnya pintu itu terbuka dan ia kembali berjumpa sesosok itu.

--

--